Kira-kira 12 tahun silam, tatkala saya masih duduk dikelas satu atau dua jenjang sekolah dasar. Masih begitu terngiang, contoh-contoh rangkaian kalimat dalam pelajaran bahasa Indonesia yang guru kutip dari handbook yang menjadi pedomannya dalam mengajar. Seperti halnya kalimat, “Ibu sedang memasak” atau “Ayah sedang membaca koran”, yang barangkali masih banyak lagi bentuk-bentuk kalimat lain yang bias gender. Bahkan saat saya tumbuh agak remaja sekitar 2-3 tahun diatasnya, saya yang saat itu mendapat tugas untuk membantu anak tetangga mengerjakan PR, masih saja menjumpai kalimat bias gender yang hampir serupa dan masih begitu lamat teringat dalam memori saya, “Mirna sedang menyapu” atau “Mirna suka membantu ibu” dengan gambar ilustrasi seorang anak perempuan usia 6 tahunan yang sedang menyapu dan mengenakan dress pink dengan ikat bando bunga di kepalanya. Nampaknya pecahan-pecahan memori itu masih cukup rapi tersimpan di kepala, walaupun tatkala tumbuh dewasa, saya baru menyadarinya bahwa kalimat maupun gambar ilustrasi dalam buku teks pelajaran sekolah tersebut berpotensi melanggengkan pola pikir dan budaya yang patriarchal untuk pelajar jenjang sekolah dasar.

Seperti yang kita tau, belakangan ini isu kesetaraan gender (gender equality) masih menjadi salah satu tren kajian penting yang sering dibahas. Salah satu bidang pembahasan yang jarang diungkap ke permukaan ialah Language and Gender. Bahasa menjadi satu bidang yang juga tidak lepas dari adanya bias-bias gender, karena menurut Noam Chomsky seorang professor linguistic Institut Teknologi Massachusetts, bahasa merupakan hasil konsensus masyarakat dimana di dalamnya banyak dipengaruhi oleh dominasi penguasa yang memiliki otoritas dalam mengeluarkan kebijakan. Adanya diskriminasi gender di hampir semua bahasa ini menimbulkan kondisi yang dilematis dalam dua hal sekaligus, yaitu bagaimana perempuan diajar untuk berbahasa dan bagaimana bahasa memperlakukan perempuan, demikian ujar Esther Kuntjara dalam bukunya Gender, Bahasa dan Kekuasaan. Demikian juga Bahasa Indonesia, tidak terlepas dari adanya satuan-satuan lingual yang secara seksis biologis membedakan kedua gender. Tidak sedikit kajian mengenai relasi bahasa dan kehidupan sosial-politik dan budaya yang mengungkapkan realitas bahwa bahasa perempuan memang berbeda dengan bahasa laki-laki.

Ini mungkin tidak jauh berbeda dengan perspektif Pierre Bordieu dalam teorinya yakni arena produksi cultural dan kekerasan simbolik. Hampir serupa dengan Chomsky, Bordieu memandang bahasa sebagai sebuah instrumen dominasi kekuasaan sebab baginya linguistik bukanlah sekedar simbol-simbol biasa dalam beberapa pengertian umum melainkan juga sebagai simbol kultural yang secara tidak sadar (unconscious) memuat tindakan diskriminasi terhadap suatu kelompok tertentu termasuk gender. Dengan kata lain, kuasa simbolik berupaya membedah dan melahirkan realitas yang dapat diakui dan dikenali secara legitimate oleh konstruksi sosial secara semena dan tidak disadari.

            Saya rasa Indonesia termasuk salah satu Negara yang tidak luput dari adanya fenomena sosial ini.  Kenyataan ini dibuktikan dengan adanya statistik yang menunjukkan data bahwa saat ini Indonesia meraih peringkat 85 dari 153 negara dalam hal Indeks Kesenjangan Gender pada tahun 2020 yang dikeluarkan oleh organisasi nirlaba internasional World Economic Forum. Hal ini tentu berkaitan dengan kualitas sistem pendidikan Indonesia yang masih menerapkan kurikulum dan materi pembelajaran yang belum mampu mengeliminasi pembagian peran gender tradisional dalam lingkungan masyarakat. Senada dengan sebuah riset yang dipublikasikan di jurnal PLOS ONE, dimana juga diungkap bahwa bias gender tersebut ditemukan pada buku pelajaran sekolah di Indonesia.

Telah dilakukan beberapa kali pengujian dan analisis terhadap buku teks yang mengungkap konten tertentu yang terdapat dalam buku-buku teks pelajaran sekolah. Dan terungkap banyaknya bias gender dalam beberapa elemen buku pelajaran sekolah baik yang termuat melalui teks tulisan maupun teks gambar. Kenyataan mengenai banyaknya bias gender dalam buku teks pelajaran sekolah penting untuk dibahas karena mengembangkan dan menyusun buku teks pelajaran sekolah membutuhkan pertimbangan yang luas, sebagaimana usia, suku, kelas, jenis kelamin, tingkat kemampuan, hingga kurikulum.

Bentuk bias gender yang ditemukan dalam buku pelajaran sekolahpun sangat beragam, termasuk adanya stereotyping dan subordinasi perempuan. Subordinasi ini terlihat dari adanya penempatan perempuan hanya sebagai komoditas dan sarana untuk memenuhi kepentingan laki-laki semata. Kemudian adanya stereotip perempuan yang acapkali diposisikan sebagai pengurus pekerjaan domestik saja. Kebutuhan domestik ini lekat kaitannya dengan peran seorang ibu rumah tangga sehari-hari seperti pekerjaan dapur, merawat dan mendidik anak, hingga peran-peran eufemistis lain yang berkaitan dengan bentuk-bentuk kepatuhan dan pengabdian kepada suami yang terkonstruk dan diyakini masyarakat sebagai sosok pemimpin dalam kehidupan rumah tangga. Fenomena sosial telah mengonstruksikan kewajiban di ranah domestik ini sebagai sesuatu yang bersifat qadrat atau bawaan biologis bagi perempuan. Sehingga muncul adanya anggapan-anggapan mengenai pembagian peran yang bias gender dan secara tidak langsung mempengaruhi pola pikir masyarakat dimana buku tersebut diciptakan.

Bias gender dalam buku teks dianggap lebih merugikan daripada bias gender di elemen lain. Karena bias gender dalam buku teks pelajaran sekolah memiliki dampak geografis yang lebih luas pada pembaca lintas pulau dan negara, sehingga memungkinkan pembaca memiliki kesalahpahaman mengenai konsep gender. Apalagi buku teks pelajaran sekolah disinyalir mengandung ideologi tersembunyi yang menyampaikan norma dan nilai yang berlaku di masyarakat, sehingga secara tidak langsung akan membentuk pola pikir yang salah bagi pelajar yang mempelajarinya hingga kemudian berpotensi melanggengkan keberlangsungan praktik-praktik budaya patriarki dalam sehari-hari.

Mempertimbangkan fenomena sosial ini, meningkatkan kesadaran guru dan siswa mengenai bias gender dalam buku teks pelajaran sekolah sebagai dokumen kurikulum sangatlah penting karena bias gender yang direpresentasikan dalam buku teks pelajaran sekolah dapat mempengaruhi konsepsi atau persepsi guru dan siswa tentang bagaimana praktik sosial gender itu berlaku dalam situasi kehidupan nyata, demikian ungkap Sugeng Ariyanto melalui jurnal ilmiahnya yang berjudul A Portrait of Gender Bias in the Prescribed Indonesian ELT Textbook for Junior High School Students. Bias gender dalam buku teks pelajaran sekolah secara negatif dapat mempengaruhi siswa dan menciptakan dunia yang menindas bagi mereka yang menjadi korban ketimpangan gender dalam buku yang mereka pelajari tersebut. Buku teks pelajaran sekolah juga memainkan peran yang sangat penting dalam pendidikan bahasa karena umumnya siswa dapat mengenal budaya dan nilai yang terkandung dalam buku tersebut melalui bahasa. Oleh karena itu, mengeksplorasi dan mengevaluasi konten materi dalam buku teks pelajaran sekolah hingga membekali guru maupun peserta didik dengan pandangan kritis berbasis gender menjadi sangat penting karena materi yang dirancang dalam buku pelajaran sekolah mencerminkan pendapat dan ideologi penulis dan pengembangnya. (JurnalistikForkombi/EsaWandira/Bun)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here