Sabtu, 18-19 Januari 2020 silam organisasi daerah Lemah Abang (Lesehan Mahasiswa Asal Batang di Pekalongan) menggelar suatu rangkaian acara Bhakti Sosial bertajuk edukasi seks di Dukuh Depok, Desa Mojotengah, Kecamatan Reban, Batang. Acara ini merupakan bentuk realisasi dari salah satu program kerja Departemen Sosial Kemasyarakatan Lemah Abang masa bakti periode 2019/2020 dalam upaya memberikan asupan adukasi kepada para remaja di dukuh terkait.

Penyelenggaran bhakti social dengan grand tema yang dibahas tersebut bukan tanpa alasan, di Kabupaten Batang sendiri memang tidak sedikit desa yang masih kental dan lumrah dengan maraknya pernikahan dini. Tentu saja banyak factor yang mendorong banyaknya fenomena ini, diantaranya yaitu karena adanya kungkungan norma, konstruksi seksualitas, hukum agama, sampai menyangkut harga diri dan nama baik keluarga. Maka tak salah jika persoalan ini penulis sebut sebagai salah satu indikasi bahwa Negara Indonesia di desa-desa tertinggal khususnya, masih begitu sarat akan gender hegeomoni atau hierarki patriarki.

Di dalam kehidupan masyarakat yang masih melestarikan budaya yang patriarchal, menikahkan anak gadis merupakan salah satu tolak ukur keberhasilan orang tua dalam membesarkan anak. Adanya stereotip atau pelabelan negative perawan tua atau tidak laku yang lazimnya ada dalam suatu kelompok social masyarakat pedesaan juga menjadi salah satu persoalan yang seharusnya dikritisi oleh remaja yang sadar pendidikan. Sebab, paradigma ini tidak akan berkembang dengan begitu saja, jika kesadaran untuk melawan tekanan budaya yang bukan solutif tapi malah menciptakan efek samping yang buruk bagi banyak korban itu ada. Kendati sudah merekat kuat dalam tatanan masyarakat, para remaja perempuan tidak seharusnya pasrah dengan kondisi tersebut. Sehingga demikian mengapa seharusnya remaja-remaja perempuan di desa tertinggal khususnya perlu diberikan pengarahan dan edukasi untuk meminimalisasi kekeliruan-kekeliruan persepsi dalam suatu kelompok masyarakat yang masih menganut budaya patriarki.

Dalam fenomena pernikahan dini, boleh dikatakan adanya ketidakadilan gender sangat terasa. Sebagaimana pemaparan Mansour Fiqh dalam Analisis Gender dan Transformasi Sosial dikatakan bahwa memahami ketidakadilan gender dapat dianalisis melalui manifestasi dari ketidakadilan itu sendiri seperti marginalisasi atau proses ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan, pembentukan stereotip atau pelabelan negative, kekerasan (violence) beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden). Segala bentuk ketidakadilan gender yang ada dalam suatu system social yang bernama patriarki tersebut pada akhirnya akan memaksa perempuan untuk menanggung segala dampak buruk yang ada nantinya akibat pernikahan dini. Seperti yang paling banyak terjadi di antaranya kemiskinan, kekerasan dalam rumah tangga, hingga kesehatan reproduksi dimana kehamilan pada usia kurang dari 17 tahun memicu munculnya pelbagai resiko komplikasi medis khususnya bagi ibu dan anak.

Berkaca dari adanya fenomena tersebut, maka penting bagi para akademika yang bernaung dalam suatu komunitas maupun lembaga kemasyarakatan untuk turut memberikan sosialisasi dalam upaya menyadarkan masyarakat akan dampak buruk yang ditimbulkan dari praktek pernikahan dini. Adapun cara solutif yang lazimnya perlu diaplikasikan dalam suatu program edukasi seks mengenai resiko pernikahan dini diantaranya yaitu memberdayakan remaja dengan informasi, keterampilan, jaringan, hingga akses pendidikan. Aktivitas tersebut dapat diimplementasikan melalui bentuk-bentuk pelatihan seperti kampanye, mentoring atau pelatihan peer group hingga safe space atau suatu forum yang memungkinkan adanya proses tatap muka. Namun upaya-upaya tersebut tidak akan membuahkan perubahan yang signifikan  jika tidak diikuti dengan adanya konsistensi kesadaran dari elemen masyarakat yang menjalannya itu sendiri. Seluruh wacana dan cita-cita idealis yang diusahakan bersama-sama oleh kaum akademik sebagai subyek akan sia-sia belaka jika melihat dari bagaimana masyarakat desa pada umumnya masih begitu konservatif hal ihwal mempertahankan stigma dan adat istiadat yang sudah dipraktekannya secara turun-temurun. Untuk itu diperlukan adanya rekonstruksi social dan pola pikir yang evolutif oleh kelompok social masyarakat pedesaan yang umumnya masih mengusung budaya patriarki.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here